Asuhan Keperawatan Hipospadia
KONSEP DASAR HIPOSPADIA
1.1.
PENGERTIAN

Gambar 1.1 anak dengan hipospadia
Hipospadia adalah congenital anomali
yang mana uretra bermuara pada sisi bawah penis atau perineum.
(Suriadi,2010:141)
Hipospadia merupakan suatu kelainan
congenital yang dapat dideteksi ketika atau segera setelah bayi lahir, istilah
hipospadia menjelaskan adanya kelainan pada muara uretra pria. Kelainan
hipospadia lebih sering terjadi pada muara uretra, biasanya tampak disisi
ventral batang penis. Seringkali, kendati tidak selalu, kelainan tersebut
diasosiasikan sebagai suatu chordee,
yaitu istilah untuk penis yang melengkuk kebawah. (Speer,2007:168)
Hipospadia adalah suatu keadaan dengan
lubang uretra terdapat pada penis bagian bawah, bukan diujung penis. Beratnya
hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak didekat ujung penis
yaitu pada glans penis. Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika luubang
uretra terdapat ditengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada
skrotum atau dibawah skrotum. Kelainan ini sering berhubungan kordi, yaitu
suatu jaringan vibrosa yang kencang yang menyebabkan penis melengkung kebawah saat
ereksi. (Muslihatum, 2010:163)
Hipospadia
adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus uretra externa terletak
di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang normal
(ujung glans penis) (Mansjoer, 2000 : 374)
1.2.
ETIOLOGI
Penyebab
yang jelas belum diketahui. Dapat dihubungkan dengan faktor genetik, lingkungan
atau pengaruh hormonal. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli
dianggap paling berpengaruh antara lain :
1) Gangguan dan
ketidakseimbangan hormone
Hormone yang
dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin
(pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam
tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri
telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja
tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan
dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
2) Genetika
Terjadi
karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada
gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut
tidak terjadi.
3) Lingkungan
Biasanya
faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
Faktor
resiko.
(Suriadi,2010:142)
Penyebab kelainan ini adalah
maskulinisasi inkomplit dari genetalia karena involusi yang premature dari sel
interstisial testis.Faktor eksogen antara lain pajanan prenatal terhadap
kokain, alcohol, fenitoin, progesitin, rubella, atau diabetes gestasional.(Mansjoer, 2000 : 374)
1.3.
KLASIFIKASI

Gambar 1.2 jenis dari hipospadia
1.3.1. Tipe
sederhana adalah tipe balanitik atau glandular, disini meatus terletak pada
pangkal glans penis. Pada kelainan ini secara klinis umumnya bersifat
asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat
dilakukan dilatasi atau meatotomi.
1.3.2. Tipe
penil, meatus terletak antara glans penis dan skrotum. Pada tipe ini umumnya
disertai kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral,
sehingga penis terlihat melengkung ke bawah (chordee) atau glans penis menjadi
pipih. Pada kelainan tipe penil diperlukan intervensi tindakan bedah bertahap.
Mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada, sebaliknya pada bayi ini
tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk
tindakan bedah plastic selanjutnya. Tindakan koreksi atau chordee umumnya
dilakukan sekitar 2 tahun, sedangkan reparasi tipe hipospadial umumnya
dilakukan sekitar umur 3 sampai 5 tahun.
1.3.3. Tipe
penoskrotal dan tipe perineal. Kelainan ini cukup besar, umumnya pertumbuhan
penis akan terganggu, ada kalanya disertai skrotum bifida, meatus uretra
terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun. Pada kejadian ini perlu
diperhatikan kemungkinan adanya pseudohermafroditisme. Tindakan bedah bertahap
dilakukan pada tahun pertama kehidupan bayi. (Markum, 1991: 257)
1.4.
MANIFESTASI KLINIS

Gambar 1.3 bentuk dari hipospadia
Gejala hipospadi, antara lain: lubang
penis tidak terdapat diujung penis, tetapi berada dibawah atau didasar penis,
penis melengkung kebawah, penis tampak seperti berkerudung karena adanya
kelainan pada kulit dengan penis, jika berkemih anak harus duduk. (Muslihatum,
2010:163)
Pada kebanyakan penderita terdapat penis
yang melengkung kearah bawah yang akan tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal
ini di sebabkan oleh adanya chordee, yaitu suatu jaringan fibrosa yang menyebar
mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke glans penis. Jaringan fibrosa ini
adalah bentuk rudimenter dari uretra, korpus spongiosum dan tunika dartos.
Walaupun adanya chordee adalah salah satu cirri khas untuk mencurigai suatu
hipospadia, perlu diingat bahwa tidak semua hipospadia memiliki chordee. (Mansjoer, 2000 : 374)
Tanda dan gejala lainnya:
1.4.1. Terbuka
uretra pada saat lahir, posisi ventral atau dorsal.
1.4.2. Adanya
chordee (penis melengkung kebawah) dengan atau tanpa ereksi.
1.4.3. Adanya
lekukan pada ujung penis (Suriadi,2010:142)
1.4.4. Meatus
uretra ventral, biasanya pada glans penis namun dapat berada pada batang penis
atau perineum.
1.4.5. Kulit
yang bercelah, akibat gagal menyatu.
1.4.6. Korde,
perlekatan yang menyebabkan pelengkungan penis kearah ventral, paling terlihat
jelas saat ereksi. Keadaan ini berkaitan dengan bentuk kelainan yang lebih
berat. (Lissauer,2008:125)
1.5.
PATOFISIOLOGI
Fusi dari garis tengah dari lipatan uretra tidak
lengkap terjadi sehingga meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis.
Ada berbagai derajat kelainan letak meatus ini, dari yang ringan yaitu sedikit
pergeseran pada glans, kemudian disepanjang batang penis, hingga akhirnya di
perineum. Prepusium tidak ada pada sisi ventral dan menyerupai topi yang
menutup sisi dorsal dari glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai
chordee, pada sisi ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan) ventral dari
penis.(Muscari, 2007 : 357)
1.6.
KOMPLIKASI
Striktur uretra (terutama pada sambungan meatus
uretra yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fistula. (Mansjoer, 2000 : 374)
Komplikasi potensial meliputi:
1.6.1. Infeksi
dan obstruksi uretra. (Speer,2007:168)
1.6.2. Infertilitas,
resiko hernia inguinal, gangguan psikososial (Suriadi,2010:142)
1.7.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan ialah dengan pemeriksaan radiologis.
1.8.
PENATALAKSANAAN
Dikenal banyak teknik operasi
hipospadia, yang umumya terdiri dari beberapa tahap yaitu:

Gambar 1.4 proses pembedahan

Gambar 1.5 hipospadia pada bayi
1.8.1. Operasi
penglepasan choorde atau tunneling
Dilakukan pada usia 1 1/2
– 2 tahun. Pada tahap ini dilakukan operasi eksisi chordee dari muara
uretra sampai ke glans penis. Setelah eksisi chordee maka penis akan menjadi
lurus akan tetapi meatus uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat
keberhasilan setelah eksisi dilakukan tes ereksi buatan intraoperatif dengan
menyuntikkan NaCl 0,9% ke dalam korpus kavernosum.
Pada saat yang bersamaan dilakukan
operasi tunneling yaitu pembuatan
uretra pada gland penis dan muaranya. Bahan untuk menutup luka eksisi chordee
dan pembuatan tunnelling diambil dari
preputium penis bagian dorsal. Oleh karena itu hipospadia merupakan
kontraindikasi mutlak untuk sirkumsisi.
1.8.2. Operasi
uretroplasti
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah
operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis bagian ventral yang di insisi
secara longitudional paralel di kedua sisi.
Beberapa tahun terakhir, sudah mulai
diterapkan operasi yang dilakukan hanya satu tahap akan tetapi operasi hanya
dapat dilakukan pada hipospadia tipe distal dengan ukuran penis yang cukup
besar. Operasi hipospadia ini sebaiknya sudah selesai dilakukan seluruhnya
sebelum si anak masuk sekolah, karena dikhawatiran akan timbul rasa malu pada
anak akibat merasa berbeda dengan teman-temannya. (Mansjoer, 2000 : 375)
Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya
tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan.
Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai
sekolah. Pada saat ini perbaikan hipospadia dianjurkan sebelum anak berumur 18
bulan.
Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi
kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa, mungkin
akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual. (Muslihatum, 2010:164)
Terapi untuk hipospadia adalah dengan
pembedahan, untuk mengembalikan penampilan dan fungsi normal penis. Pembedahan
biasanya tidak dijadwalkan sampai bayi berusia 1 sampai 2 tahun, ketika ukuran
penis menyetakan sebagai ukuran yang layak dioperasi. (Speer,2007:168)
Koreksi dengan pembedahan dilakukan pada
usia 2 tahun sehingga meatus uretra berada pada ujung penis, ereksi dapat lurus,
dan penis terlihat normal. Pada sebagian besar kasus hipospadia yang hanya
mengenai glans penis, pembedahan tidak diperlukan kecuali kadang-kadang untuk
alasan kosmetik. (Lissauer,2008:125)
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT
HIPOSPADIA
2.1.
PENGKAJIAN
2.1.1.
Identitas
1)
Usia :
ditemukan saat lahir
2)
Jenis kelamin : hipospadia merupakan anomaly uretra yang paling sering terjadi
pada laki-laki dengan angka kemunculan 1:250 dari kelahiran hidup. (Brough,
2007: 130)
2.1.2.
Keluhan Utama
Lubang penis tidak
terdapat diujung penis, tetapi berada dibawah atau didasar penis, penis
melengkung kebawah, penis tampak seperti berkerudung karena adanya kelainan
pada kulit dengan penis, jika berkemih anak harus duduk.(Muslihatum, 2010:163)
2.1.3.
Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada
umumnya pasien dengan hipospadia ditemukan adanya lubang kencing yang tidak
pada tempatnya sejak lahir dan tidak diketahui dengan pasti penyebabnya.
2.
Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya
pasien dengan hipospadia ditemukan adanya penis yang melengkung kebawah adanya
lubang kencing tidak pada tempatnya sejak lahir.
2.1.4.
Riwayat Kongenital
1)
Penyebab yang jelas belum diketahui.
2)
Dihubungkan dengan penurunan sifat
genetik.
3)
Lingkungan polutan teratogenik.
(Muscari, 2005:357)
2.1.5.
Riwayat Kehamilan Dan Kelahiran:
Hipospadia terjadi karena adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan
minggu ke-10 sampai minggu ke-14. (Markum, 1991: 257)
2.1.6.
Activity Daily Life
1)
Nutrisi :
Tidak ada gangguan
2)
Eliminasi : anak laki-laki dengan hipospadia akan
mengalami kesukaran dalam mengarahkan aliran urinnya, bergantung pada keparahan
anomali, penderita mungkin perlu mengeluarkan urin dalam posisi duduk.
Konstriksi lubang abnormal menyebabkan obstruksi urin parsial dan disertai oleh
peningkatan insiden ISK. (Brough, 2007: 130)
3)
Hygiene Personal :Dibantu oleh perawat dan keluarga
4)
Istirahat dan Tidur : Tidak ada gangguan
2.1.7.
Pemeriksaan Fisik
a. Sistem
kardiovaskuler
Tidak
ditemukan kelainan
b. Sistem
neurologi
Tidak ditemukan
kelainan
c. Sistem
pernapasan
Tidak
ditemukan kelainan
d. Sistem
integumen
Tidak
ditemukan kelainan
e. Sistem
muskuloskletal
Tidak
ditemukan kelainan
f. Sistem
Perkemihan
i.
Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria
atau pembesaran pada ginjal.
ii. Kaji fungsi
perkemihan
iii. Dysuria
setelah operasi
g. Sistem
Reproduksi
i.
Adanya lekukan pada ujung penis
ii. Melengkungnya
penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
iii. Terbukanya
uretra pada ventral
iv. Pengkajian
setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, drinage.
(Nursalam, 2008: 164)
2.2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO
|
Diagnosa
Keperawatan
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
PRE
OPERASI
Ansietas
(anak dan orang tua) yang behubungan dengan proses pembedahan (uretroplasti).
POST
OPERASI
Nyeri
berhubungan dengan pembedahan.
Resiko
infeksi (traktus urinarius) yang berhubungan dengan pemasangan kateter.
Ansietas
(orang tua) yang berhubungan dengan penampilan penis anak setelah pembedahan.
Defisit
pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
|
2.3.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
PRE OPERASI
2.3.1. Ansietas
(anak dan orang tua) yang behubungan dengan proses pembedahan (uretroplasti)
Tujuan: anak dan orang tua mengalami penurunan rasa
cemas yang ditandai oleh ungkapan pemahaman tentang prosedur bedah
Intervensi:
1)
Jelaskan pada anak dan orang tua tentang
prosedur bedah dan perawatan pasca operasi yang diharapkan. Gunakan gambar dan
boneka ketika menjelaskan prosedur kepada anak. Jelaskan bahwa pembedahan
dilakukan dengan cara memperbaiki letak muara uretra. Jelaskan juga kateter
urine menetap akan dipasang, dan bahwa anak perlu direstrein untuk mencegah
supaya anak tidak berusaha melepas kateter. Beri tahu mereka bahwa anak mungkin
dipulangkan dengan keadaan terpasang kateter.
R: menjelaskan rencana pembedahan dan pasca operasi
membantu meredakan rasa cemas dan takut, dengan membiarkan anak dan orang tua
mengantisipasi dan mempersiapkan peristiwa yang akan terjadi. Simulasi dengan
mempergunakan gambar dan boneka untuk menjelaskan prosedur dapat membuat anak
memahami konsep yang rumit.
2)
Beri anak kesempatan untuk mengekspresikan
rasa takut dan fantasinya dengan menggunakan boneka dan wayang.
R: mengekspresikan rasa takut memungkinkan anak
menghilangkan rasa takutnya, dan memberi anda kesempatan untuk mengkaji tingkat
kognitif dan kemampuan untuk memahami kondisi, serta perlunya pembedahan.
(Speer,2007:168)
POST OPERASI
2.3.2. Nyeri
berhubungan dengan pembedahan
Tujuan: anak akan memperlihatkan peningkatan rasa
nyaman yang ditandai oleh menangis,gelisah, dan ekspresi nyeri berkurang.
Intervensi:
1)
Kolaborasi dalam pemberian analgesic
sesuai program
R: pemberian obat analgesik untuk meredahkan nyeri
2)
Pastikan kateter anak dipasang dengan
benar,serta bebas dari simpul
R: penempatan kateter yang tidak tepat dapat
menyebabkan nyeri akibat drainase yang tidak adekuat,atau gesekan akibat
tekanan pada balon yang digembungkan. (Speer,2007:169)
2.3.3. Resiko
infeksi (traktus urinarius) yang berhubungan dengan pemasangan kateter
Tujuan: anak tidak mengalami infeksi yang ditandai
oleh hasil urinalisis normal dan suhu tubuh kurang dari 37,80c
Intervensi:
1)
Pertahankan kantong drainase kateter
dibawah garis kandung kemih dan pastikan bahwa selang tidak terdapat simpul dan
kusut.
R: mempertahankan kantong drainase tetap pada posisi
ini mencegah infeksi dengan mencegah urine yang tidak steril mengalir balik ke
dalam kandung kemih
2)
Gunakan tekni aseptic ketika
mengosongkan kantong kateter
R: teknik aseptic mencegah kontaminan masuk kedalam
traktus urinarius
3)
Pantau urine anak untuk pendeteksian
kekeruhan atau sedimentasi. Juga periksa balutan bedah setiap 4 jam, untuk
mengkaji bila tercium bau busuk atau drainase purulen; laporkan tanda-tanda
tersebut kepada dokter dengan segera
R: tanda ini dapat mengindikasikan infeksi
4)
Anjurkan anak untuk minum
sekurang-kurangya 60 ml/jam
R: peningkatan asupan cairan dapat mengencerkan
urine dan mendorong untuk berkemih
5)
Beri obat antibiotic profilaktik sesuai
program, untuk membantu mencegah infeksi. Pantau anak untuk efek terapeutik dan
efek samping
R: pemantauan yang demikian membantu menentukan
kemanjuran obat antibiotic dan toleransi anak terhadap obat tersebut. (Speer,2007:169)
2.3.4. Ansietas
(orang tua) yang berhubungan dengan penampilan penis anak setelah pembedahan
Tujuan: orang tua akan mengalami penurunan rasa
cemas yang ditandai oleh pengungkapan perasaan mereka tentang kelainan anak.
Intervensi:
1)
Anjurkan orang tua untuk mengekspresikan
perasaan dan kekhawatiran mereka tentang ketidaksempurnaan fisik anak. Fokuskan
pada pertanyaan tentang seksualitas dan reproduksi.
R: membiarkan orang tua mengekspresikan perasaan
serta kekhawatiran mereka, dapat memberikan perasaan didukung dan dimengerti
sehingga mengurangi rasa cemas mereka. Mereka cenderung merasa sangat khawatir
terhadap efek kelainan, pada aspek seksualitas dan reproduksi.
2)
Bantu orang tua melalui proses berduka
yang normal
R: proses berduka memungkin orang tua dapat melalui
kecemasan dan perasaan distress mereka.
3)
Rujuk orang tua kepada kelompok
pendukung yang tepat, jika diperlukan
R: kelompok pendukung dapat membantu orang tua
mengatasi ketidaksempurnaan fisik anak.
4)
Apabila memungkinkan, jelaskan perlunya
menjalani pembedahan multiple, dan jawab setiap pertanyaan yang muncul dari
orang tua
R: perbaikan yang sudah dilakukan melaui pembedahan
perlu berlangsung secara bertahap. Dengan mendiskusikan hal ini dengan orang
tua dan member kesempatan mengekspresiakan perasan mereka dapat mengurangi
kecemasan. (Speer,2007:170)
2.3.5. Defisit
pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah
Tujaun: orang tua mengekspresikan pemahaman tentang
instruksi perawatan di rumah, dan mendemonstrasikan prosedur perawatan dirumah
Intervensi:
1)
Ajarkan orang tua tanda serta gejala
infeksi saluran kemih atau infeksi pada area insisi, termasuk peningkatan suhu,
urine keruh, dan drainase purulen dari insisi
R: mengetahui tanda dan gejala infeksi mendorong
orang tua mencari pertolongan medis ketika membutuhkannya
2)
Ajarkan orang tua cara merawat kateter
dan penis, termasuk membersihkan daerah sekeliling kateter, mengosongkan
kantong drainase dan memfiksasi kateter; jelaskan pentingnya memantau warna
serta kejernihan urine
R: informasi semacam ini dapat meningkatkan
kepatuhan terhadap penatalaksanaan keperawatan di rumah dan membantu mencegah
kateter lepas serta infeksi
3)
Anjurkan orang tua untuk mencegah anak
untuk tidak mengambil posisi mengangkang, saat mengendarai sepeda atau
menunggang kuda
R: posisi mengangkang dapat menyebabkan kateter
terlepas dan merusak area operasi
4)
Apabila dibutuhkan, ajarkan orang tua
tentang tujuan dan penggunaan obat antibiotik serta obat-obatan, untuk spasme
kandung kemih (meperidin hidroklorida [Demerol], asetaminofen[Tylenol]);
jelaskan juga perincian tentang pemberian, dosis dan efek samping
R: obat analgesic dapat mengendalikan rasa nyeri.
Spasme kandung kemih dapat terjadi akibat iritasi kandung kemih. Dengan mengetahui
efek samping mendorong orang tua mencari pertolongan medis ketika membutuhkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alatas, Husein dkk. 2002. Buku Ajar Nefrologi Anak. Jakarta: Penerbit Behrman, Richard
E.2010.Esensi Pediatri. Jakarta:EGC
Brough, Helen.2007.Rujukan Cepat Pediatri Dan Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Lissauer,Tom.2006.At a Glance Neonatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Markum, A H.1991.Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Anak.Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Muscari, Mary E. 2005. Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
Muslihatum, Wafi Nur .2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Penerbit Fitramaya
Short, J R. 2011. Sinopsis Pediatri.Tanggerang: Binarupa Aksara Publisher
Speer, Kathleen Morgan.2007.Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
terimakasih atas bahan makalahnya.
BalasHapussangat membantu.. :)
semoga jadi pahala buat kamu.. :) amiin..
terimakasihh,, merasa terbantu ini..
BalasHapusIya sama sama, ada saran ga? Apa ada yg kurang lengkap?
BalasHapus