Asuhan Keperawatan Hemodialisis


HEMODIALISIS
1.             DEFINISI
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD; end-stage renal diseas) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien-pasien ini arus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya tiga kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi), atau sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi dialisis yang kronis kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendalikan gejala uremia. (Brunner & Suddarth, 2001: 1397)

2.             PRINSIP-PRINSIP HEMODIALISIS
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.
Sebagian besar dialiser merupakan lempengan rata atau ginjal serat artifisial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus yang bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisir akan terjadi melalui membran semipermeabel tubulus.
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah dalam aliran darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar eletrolit darah dapat dikendalikan dengan mengatur rendaman dialisat (dialysate bath) secara tepat. (pori-pori kecil dalam membran semipermeabel tidak memungkinkan lolosnya sel darah merah dan protein).
Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan; dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke takanan yang lebih rendah(cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengeksresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan).
Sistem dapar (biffer system) tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam tubuh pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Darah yang sudah dibersihkan kemudian dikembalikan ke dalam tubuh melalui pembuluh vena pasien.
Pada akhir terapi dialisis, banyak zat limbah telah dikeluarkan, keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan dan sistem dapar juga telah diperbarui.
Pada saat dialisis, pasien, dialiser, dan rendaman dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi yang dapat terjadi (misalnya, emboli udara, ultrafiltrasi yang tidak adekuat atau berlebihan [hipotensi, kram, muntah], perembesan darah, kontaminasi dan komplikasi terbentuknya pirau atau fistula). Perawat dalam unit dialisis memiliki peranan yang penting dalam memantau serta memberikan dukungan kepada pasien dan dalam melaksanakan program pengkaian dan pendidikan pasien yang berkelanjutan.

Alat dialisis yang ada sekarang teah mengalami perubahan dari segi teknologi, dan banyak kemajuan telah dicapai dalam penanganan penyakit ginjal stadium-terminal. Seperti dinyatakan sebelumnya, kebanyakan dialiser merupakan dialiser lempengan yang rata atau serat berongga. Perbedaan antara kedua bentuk ini terleak pada kerja dan biokompatibilitasnya. Biokompatibilitas mengacu pada kemampuan dialiser untuk mencapai tujuannya tanpa menimbulkan hipersensitivitas, alergi atau reaksi yang merugikan lainnya.
Sebagian dialiser akan mengeluarkan molekul dengan berat sedang dengan laju yang lebih cepat dan melakukan ultrafiltrasi dengan kecepatan tinggi. Hal ini diperkirakan akan memperkecil kemungkinan neuropati ekstremitas bawah yang merupakan komplikasi hemodialisis yang berlangsung lama. Pada umumnya semakin efisien dialiser, semakin besar biayanya. (Brunner & Suddarth, 2001: 1398)

3.             INDIKASI
Pemeliharaan dibutuhkan pada gagal ginjal kronis (penyakit ginjal stadium terminal) dalam keadaan berikut : terjadi  tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual, muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum yang meningkat muatan cairan berlebih yang tidak responsive terhadap terapi diuretic serta pembatasan cairan, dan penurunan status kesehatan yang umum,  disamping itu terdengarnya suara gesekan pericardium (pericardial friction rub). (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan, dan GFR 4 ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)

4.             KONTRAINDIKASI
Tidak dilakukan pada pasien yang mengalami suhu yang tinggi. Cairan dialisis pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemodialisis sel-sel darah merah sehingga kemungkinan penderita akan meninggal.



5.             PROSEDUR
5.1         Persiapan akses pasien dan kanula.
5.2         Berikan heparin (jika tidak ada kontraindikasi).
5.3         Masukkan heparin saat darah mengalir melalui dialiser semipermeabel dengan satu arah dan cairan dialisis mengitari membran dan mengalir pada sisi yang berlawanan.
5.4         Cairan dialisis harus mengandung air yang bebas dari sodium, potassium, kalsium, magnesium, klorida, dan dekstrosa setelah ditambahkan.
5.5         Melalui proses difusi, elektrolik, sampah metabolik, dan komponen asam-basa dapat dihilangkan atau ditambahkan ke dalam darah.
5.6         Penambahan air dihilangkan dari darah (ultrafiltrasi).
5.7         Darah kemudian kembali ke tubuh melalui akses pasien. (Nursalam, 2006: 31)

6.             PERLENGKAPAN HEMODIALISIS
6.1         Akses untuk sirkulasi pasien.
6.2         Mesin dialysis dan dialiser dengan membrane semipermeabel.
6.3         Persiapan dialisate bath.
6.4         Lakukan selama 4 jam tiga kali seminggu.
6.5         Lakukan di pusat dialysis atau di rumah (jika memungkinkan). (Nursalam, 2006: 31)

7.             AKSES VASKULAR HEMODIALISIS
Untuk melakukan hemodialisis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan masuk ke dalam sistem vascular penderita. Darah harus keluar dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200 sampai 400 ml/menit. Teknik akses vaskular diklasifikasikan sebagai berikut:
7.1         Akses Vaskuler Eksternal (sementara)
7.1.1    Pirau arteriovenosa (AV) atau sistem kanula diciptakan dengan menempatkan ujung kanula dari teflon dalam arteri dan sebuah vena yang berdekatan. Ujung kanula dihubungkan dengan selang karet silikon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau.
7.1.2    Kateter vena femoralis sering dipakai pada kasus gagal ginjal akut bila diperlukan akses vaskular sementara, atau bila teknik akses vaskuler lain tidak dapat berfungsi. Terdapat dua tipe kateter dialisis femoralis. Kateter saldon adalah kateter berlumen tunggal yang memerlukan akses kedua. Tipe kateter femoralis yang lebih baru memiliki lumen ganda, satu lumen untuk mengeluarkan darah menuju alat dialisis dan satu lagi untuk mengembalikan darah ke tubuh penderita. Komplikasi pada kateter vena femoralis adalah laserasi arteriafemoralis, perdarahan, thrombosis, emboli, hematoma, dan infeksi.
7.1.3    Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai sebagai alat akses vaskular karena pemasangan yang mudah dan komplikasinya lebih sedikit dibanding kateter vena femoralis. Kateter vena subklavia mempunyai lumen ganda untuk aliran masuk dan keluar. Kateter vena subklavia dapat digunakan sampai empat minggu sedangkan kateter vena femoralis dibuang setelah satu sampai dua hari setelah pemasangan. Komplikasi yang disebabkan oleh katerisasi vena subklavia serupa dengan katerisasi vena femoralis yang termasuk pneumotoraks robeknya arteriasubklavia, perdarahan, thrombosis, embolus, hematoma, dan infeksi.
7.2         Akses Vaskular Internal (permanen)
7.2.1   Fistula AV dibuat melalui anastomosis arteri secara langsung ke vena pada lengan yang tidak dominan (biasanya arteria radialis dan vena sefalika pergelangan tangan). Umur fistula AV adalah empat tahun dan komplikasinya lebih sedikit dengan pirau AV. Masalah yang paling utama adalah nyeri pada pungsi vena terbentuknya aneurisma, trombosis, kesulitan hemostatis pascadialisis, dan iskemia pada tangan.
7.2.2   Tandur AV dibuat ketika pasien dimungkinkan karena adanya penyakit, kerusakan akibat prosedur sebelumnya, dan ukurannya kecil maka tandur AV dapat di anastomosiskan antara arteri dan vena (biasanya pada lengan). Di mana, tandur ini bekerja sebagai saluran bagi aliran darah dan tempat penusukan jarum selama dialisis. Komplikasi tandur AV sama dengan fistula AV.trombosis, infeksi, aneurisma dan iskemia tangan yang disebabkan oleh pirau darah melalui prosthesis dan jauh dari sirkulasi distal. (Sylvia, 2005: 975)

8.             METODE AKSES VASKULAR
Fistula arterivena (AVF), hubungan vaskuler melalui vena langsung ke ateri:
8.1         Biasanya, arteri radial dan vena cephalika yang terletak pada lengan non dominal, pembuluh darah pada lengan atas dapat digunakan.
8.2         Sesudah prosedur, system vena supervisial lengan dilatasi.
8.3         Dengan menggunakan dua jarum berlubang besar, masukkan ke dalam system vena dilatasi dan darah akan mengalir melalui dialiser. Ujung arteri digunakan sebagai aliran arteri dan ujung distal diinfuskan kembali ke darah dialysis.
8.4         Graf-pemhubung arteri vena mengandung graf selang yang terbuat dari vena savenous autologus atau dari politetrafluoroethyline (PTEE).
8.5         Kanula tetap vena pusat (CVC) langsung dari vena (subklavikula, jugular interna atau femoral). (Nursalam, 2006: 31)

9.             PEMANTAUAN SELAMA HEMODIALISIS
9.1         Monitor status hemodinamik, elektrolik, dan keseimbangan asam-basa, demikian juga sterilisasi dan sistem tertutup.
9.2         Biasanya dilakukan oleh perawat yang terlatih dan familiar dengan protokol dan peralatan yang digunakan. (Nursalam, 2006:32)

10.         PEMANTAUAN SETELAH HEMODIALISIS
10.1     Berat badan pasien ditimbang.
10.2     TTV diperiksa.
10.3     Spesimen darah diambil untuk mengetahui kadar elektrolit serum dan zat sisa tubuh. (Baradero, 2008: 136)


11.         PENATALAKSANAAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS JANGKA-PANJANG
Diet dan masalah cairan. Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengeksresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksik. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremik dan akan  mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul. Diet rend protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian, pembatasan cairan juga merupakan bagian dengan resep diet untuk pasien ini.
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. Berkaitan dengan pembatasan protein, maka protein dari makanan harus memiliki nilai biologis yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial untuk mencegah penggunaan protein yang buruk serta mempertahankan keseimbangan nitrogen yang positif. Contoh protein dengan nilai biologis yang tinggi adalah telur, daging, susu dan ikan.
Dampak Diet Rendah Protein. Diet yang bersifat membatasi akan merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan serta tidak disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Karena makanan dan minuman merupakan aspek penting dalam sosialisasi, pasien sering merasa disingkirkan ketika berada bersama orang-orang lain karena hanya ada beberapa pilihan makanan saja yang tersedia baginya. Jika pembatasan ini dibiasakan, komplikasi yang dapat membawa kematian seperti hiperkalemia dan edema paru dapat terjadi.
Pertimbangan medikasi. Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialisis oleh karena itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran metabolit obat yang lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya. Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, jika obat antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.

12.         KOMPLIKASI
12.1     Salah satu penyebab kematian diantara pasien-pasien yang menjalani hemodialisis kronis adalah penyakit kardiovaskuler arteriosklerotik. Gangguan metabolisme lipid (hipertrigliseridemia) tampaknya semakin diperberat dengan tindakan hemodialisis. Gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta nyeri angina pektoris, stroke dan insufisiensi vaskuler perifer juga dapat terjadi serta membuat pasien tidak berdaya. Anemia dan rasa letih dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik serta mental, berkrangnya tenaga serta kemauan, dan kehilangan perhatian. Ulkus lambung dan masalah gastrointestinal lainnya terjadi akibat stres fisiologik yang disebabkan oleh sakit yang kronis, obat-obatan dan berbagai masalah yang berhubungan. Gangguan metabolisme kalsium akan menimbulkan osteodistrofirenal yang menyebabkan nyeri tulang dan fraktur. Masalah lain mencakup kelebihan muatan cairan yang berhubungan dengan gagal jantung kongestif, malnutrisi, infeksi, neuropati dan pruritus.
12.2     Komplikasi terhadap dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:
·      Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
·      Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
·      Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
·      Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk-akhir metabolisme meninggalkan kulit.
·      Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
·      Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
·      Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

13.         PENDIDIKAN PASIEN
Hal-hal penting dalam program pengajaran mencakup:
13.1     Rasional dan tujuan terapi dialisis
13.2     Hubungan antara obat-obat yang diresepkan dan dialisis
13.3     Efek samping obat dan pedoman kapan harus memberitahukan dokter mengenai efek samping tersebut
13.4     Perawatan akses vaskuler: pencegahan, pendeteksian dan penatalaksanaan komplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler
13.5     Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan: konsekuensi akibat kegagalan dalam mematuhi pembatasan ini
13.6     Pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan muatan cairan
13.7     Strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan gejala pruritus, neuropati serta gejala-gejala lainnya.
13.8     Penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek samping terapi (dialisis, diet yang membatasi, obat-obatan)
13.9     Strategi untuk mengangani atau mengurangi kecemasan serta ketergantungan pasien sendiri dan anggota keluarga mereka.
13.10 Pilihan lain yang tersedia bagi pasien
13.11 Pengaturan finansial untuk dialisis: strategi untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber-sumber.
13.12 Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan mengatasi kecemasan anggota keluarga. 

 
Asuhan keperawatan Pasien Dengan Hemodialisis

A.            Pengkajian
1.             Keluhan utama
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual, muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum yang meningkat. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)

2.             Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien penderita gagal ginjal kronis (stadium terminal). (Brunner & Suddarth, 2001: 1398)

3.             Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi, yang sering merupakan bagian dari susunan terapi dialysis, merupakan salah satu contoh di mana komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya. (Brunner & Suddarth, 2001: 1401)

4.             Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan kondisi penyakitnya yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi masalah financial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang serta impotensi, dipresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian. (Brunner & Suddarth, 2001: 1402)
Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang pertama kali dilakukan hemodialisis. (Muttaqin, 2011: 267)

5.             ADL (Activity Day Life)
Nutrisi                 : pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan cairan masuk untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang dapat mengakibatkan gagal jantung kongesti serta edema paru, pembatasan pada asupan protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala, mual muntah. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1400)
Eliminasi  : Oliguri dan anuria untuk gagal
Aktivitas : dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi. Karena waktu yang terbatas dalam menjalani aktivitas sehai-hari.

6.             Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun.
TTV: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan tekanan darah diatas rentang normal. Kondisi ini harus di ukur kembali pada saat prosedur selesai dengan membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur. (Muttaqin, 2011: 268)
B2 : hipotensi, turgor kulit menurun

7.             Pemeriksaan Penunjang
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan, dan GFR 4 ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)

B.            Diagnosa keperawatan
NO.
Diagnosa Keperawatan
Pre Hemodialisis
1.
Ansietas berhubungan dengan krisis situasional mengenai tindakan yang akan dilakukan.
Intra Hemodialisis
2.
Resiko tinggi terhadap kehilangan akses vaskuler berhubungan dengan perdarahan karena lepas sambungan secara tidak sengaja.
3.
Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ultrafiltrasi.
4.
Resiko tinggi kelebihan volume cairan berhubungan dengan pemasukan cairan untuk mendukung tekanan darah selama dialisa.
5.
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
Post Hemodialisis
6.
Ansietas berhubungan dengan perubahan dengan status kesehatan atau fungsi peran
7.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi kulit pada sisi pemasangan kateter



DAFTAR PUSTAKA

Barader Mary. 2008. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doengoes Marylin et all. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mutaqin Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Nursalam. 2006. Sistem Perkemihan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CVP (Central Vena Pressure)